Bersanding dengan Animal Farm, 1984 menjadi karya ikonik George Orwell, nama pena dari Eric Arthur Blair, seorang pengarang Inggris yang dikenal karena pandangannya yang tajam terhadap politik. Pengalaman pengarang yang pernah bekerja di kepolisian, guru privat, guru sekolah, asisten toko buku, penulis artikel politik, sampai ikut serta dalam perang saudara Spanyol dan Perang Dunia II, semakin mengayakan narasi dalam novel ini. Ketika novel ini ditulis, dunia baru saja mengalami dampak Perang Dunia II dan menghadapi ancaman Perang Dingin. Paham Nazi Jerman dan Komunisme Sosialisme Uni Soviet turut memengaruhi pandangan-pandangan pengarang.
Tokoh utama dalam novel 1984 adalah Winston Smith, seorang pegawai di Kementerian Kebenaran di negara fiktif bernama Oceania, yang sedang berperang entah melawan Eurasia atau Eastasia. Oceania adalah negara distopia yang menganut falsafah Sosing, doktrin moral yang harus ditaati oleh semua warganya. Partai Inti menjadi tirani yang berkuasa mutlak, dengan penguasa misterius yang disebut Big Brother.
Departemen-departemen dalam negera Oceania diberi nama yang bertolak belakang dengan harfiahnya. Misalnya Departemen Kebenaran, tupoksinya adalah memutarbalikkan fakta dan memanipulasinya sedemikian rupa sesuai kemauan dan kebutuhan penguasa. Departemen Tumpah Ruah, peranannya melakukan efisiensi pangan dalam segala lini yang tidak masuk akal.
(Duh jadi inget negeri tercinta yang sedang melakukan efisiensi, yang sebenarnya sih pemangkasan anggaran! Ah ya, dulu Indonesia juga punya Departemen Penerangan, sebelum dihapuskan pada saat reformasi. Tupoksi depertemen tersebut? Alih-alih memberi penerangan, konon malah membredeli kebebasan pers!)
Winston Smith digambarkan sebagai individu yang mulai meragukan pemerintahan totaliter. Dituturkan dengan sudut pandang orang pertama, pembaca diajak merasakan ketidaknyamanan dan ketakutan yang menyelimuti masyarakat di bawah pengawasan ketat. Teleskrin, sebuah alat penyadap yang dipasang di mana-mana siap mengawasi segala kegiatan warga, bahkan di dalam toilet sampai kamar tidur. Polisi Pikiran juga sigap menelanjangi pikiran setiap waktu. Setiap individu dapat menjadi musuh bagi individu lainnya. Bahkan anak-anak sekalipun, dapat menjadi mata-mata dan melaporkan orang tuanya sendiri tanpa ampun. Mengerikan sekali!
Ibu kota digambarkan sebagai tempat yang suram, penuh dengan teror, kecurigaan, dan poster-poster propaganda. Masyarakat kehilangan privasi serta kebebasan berpikir, berpendapat, dan berserikat. Winston Smith diam-diam berpikir untuk melawan sistem yang menindas dan berusaha mencari kebenaran dalam keseharian yang penuh kebohongan. Termasuk dirinya sendiri yang setiap hari bekerja memanipulasi data, menulis ulang peristiwa, dan merevisi sejarah sesuai pesanan. Pergulatan batin Winston Smith untuk memberontak menjadi inti cerita.
Pembungkaman kebenaran dan pembelengguan kebebasan berpikir itu dimanifestasikan dalam bahasa Newspeak, yang selalu diperbarui edisi setiap tahunnya dengan menghapus banyak kosakata, sehingga alat untuk mengomunikasikan sesuatu semakin terbatas jumlahnya.
Tokoh dalam cerita fiksi biasanya digambarkan melewati proses yang berliku untuk berkembang dan mengalami perubahan pada akhir cerita. Winston Smith juga demikian, berproses untuk melawan, tetapi keadaan tidak dapat dikendalikannya. Puluhan lembar akhir novel menggambarkan penyiksaan atas dirinya. Jujur, ini membuat saya lelah membacanya.
(Sama lelahnya ketika saya mencermati keadaan politik dan perilaku politikus negeri ini!)
Novel 1984 memperingatkan pembaca tentang bahaya totaliter, bagaimana kekuasaan dapat memanipulasi segala hal untuk mempertahankan dominasinya. Masyarakat yang hidup dalam kendali totaliter dapat kehilangan identitas dan kebebasannya. Bagi oligarki, kebodohan adalah kekuatan. Struktur inti masyarakat dari zaman ke zaman tidak pernah berubah: Tinggi, Menengah, dan Rendah. Ketiganya terbagi-bagi lagi dengan banyak nama yang tak terhitung banyaknya. Sebuah masyarakat hierarkis hanya mungkin ditegakkan di atas dasar kemiskinan dan kebodohan.
(Duh, jadi inget negeri tercinta lagi yang lebih memilih makan gratis daripada pendidikan gratis!)
Edisi terjemahan novel 1984 di Indonesia diterbitkan oleh Penerbit Bentang Pustaka. Ada ketidakkonsistenan dalam penerjemahan, yaitu penggunaan kata baku dan tidak baku. Penggunaan beberapa kata tidak baku dalam dialog menurut saya terlalu dipaksakan, kurang pas mengingat seluruh paragraf yang terdeskripsikan sebelumnya sangat panjang dan berat, menggunakan kata baku. Apalagi genre buku ini adalah thriller politik, bukan novel chicklit. Jadi sepertinya akan lebih nyaman dibaca jika kata yang digunakan konsisten baku. Contoh ketidakkonsistenan itu antara lain: Sekali-banget, tertawa-ketawa, ingin-kepingin. Rasa bahasa yang lumayan dapat mengubah kesan.
Saya merekomendasikan novel ini untuk dibaca oleh seluruh rakyat Indonesia, untuk dapat mengambil pelajaran darinya, sehingga dapat mengawal demokrasi, yang belakangan dikhawatirkan terjun bebas ke arah totaliter.
Vibes novel2 Orwel ini dark gitu ya. Suram mencekam. Saya baca yang Animal farm, walau tokohnya hewan semua tapi ceritanya terasa pedih
ReplyDeleteIya bener, Mbak Lyta. Bukunya tebel, paragrafnya juga panjang-panjang.
Delete