Review Kumpulan Puisi Ublik

Saya suka membaca puisi. Puisi bisa dibaca berkali-kali. Puisi adalah kebebasan, tak terikat norma dan etika menulis. Puisi bisa saja panjang atau pendek, bisa jadi hanya selarik kalimat. Yang pasti, puisi paling ringkas dibanding karya tulis lainnya. Puisi tak serumit konflik dalam novel. Puisi tak serumit logika nonfiksi.

Review Kumpulan Puisi Ublik
Kumpulan Puisi Ublik

Bagi saya, puisi sangat istimewa, hingga saya perlu ‘ritual’ khusus ketika akan mulai membacanya. Saya perlu menyiapkan rasa untuk mencerna. Saya perlu menyiapkan ruangan, membebaskannya dari huru-hara, agar mampu menyerap maknanya secara paripurna. Hingga akhirnya, mungkin saya akan berseru, “Aha, related!”

Begitu pun ketika akan memulai membaca Ublik, kumpulan puisi karya Mas Ono Sembunglango ini. Saat membuka halaman-halaman awal, saya langsung bisa berseru, “Aha, related!”

Puisi berjudul ‘Ini adalah Kota’ dan ‘Jakarta’ mungkin adalah pengalaman dari berjuta penduduk kota besar, sebutlah ibukota. Hari-hari terasa cepat, pola-pola gerakan manusia terasa monoton dan otomatis, macam robot. Dalam ritme yang cederung tergesa-gesa, saya pun pernah merasakan bahwa puisi telah kehilangan rimanya. Sulit sekali merengkuh makna puisi dalam keramaian.

Review Kumpulan Puisi Ublik
Apakah puisi benar-benar telah mati?

Mas Ono menyebutnya, ‘puisi telah mati’ yang menurut saya adalah inti dari buku ini. Puisi bisa menempati segala aspek dalam hidup. Namun, tentu saja, ‘puisi tak datang begitu saja’. Kita harus melapangkan hati untuk mengasah kepekaan, lalu pelan-pelan menghadirkannya. Puisi bisa dipungut di antara semak-semak. Puisi bisa berbincang. Puisi bisa sekarat. Puisi bisa mati berkali-kali. Dan apakah kita bisa hidup tanpa puisi? Jika tidak, maka puisi perlu dibangkitkan.

Membincang unsur kebebasan dalam puisi, saya cukup takjub dengan salah satu bab, yang seluruh puisinya tak berjudul. Kita, sebagai pembaca, bisa memberinya judul sesuai dengan persepsi kita masing-masing. Atau kita juga bisa mulai mencoret-coret puisi kita sendiri dalam beberapa lembaran kosong yang sengaja disediakan.

Ketika saya mulai tersesat dalam kebebasan rimba berpuisi, saya mencari-cari dua puisi, yang mungkin saja hilang. Saya menemukan ‘puisi telah mati #2’, ‘puisi telah mati #3’ dan ‘puisi telah mati #4’. Namun, saya benar-benar tidak menemukan ‘puisi telah mati #1’. Ketika saya bertemu dengan Mas Ono dan bertanya, “Ada di mana ‘puisi telah mati #1’?” Jawabnya, ada dalam puisi-puisi yang tak berjudul. Aha, baiklah, ini membuat saya jadi berkali-kali membacanya. Nice strategy!

Review Kumpulan Puisi Ublik
Mungkin bisa mewakili puisi 'status coklat'
Entah ini sungai, espresso, atau cokelat hangat?

Lalu, saya juga mencari puisi ‘aku tertatih di hutan warta’ yang dituturkan judulnya dalam kata pengantar. Saya berpikir, mungkin puisi ini juga akan menyerukan “Aha, related!” mengingat kita hidup dalam zaman yang serba cepat, banjir informasi di mana-mana, hingga kadang kita merasa vertigo hanya karena membaca berita. Namun, ketika saya sudah berkelana sampai ujung buku, berkali-kali, tak jua menemukan puisi tersebut. Apakah mungkin tersirat dalam puisi-puisi yang tak berjudul juga? Atau ini kejutan untuk buku selanjutnya? Sekali lagi, ini adalah kebebasan dan hak prerogatif sang pengarang. Mari kita tunggu!

Yang membuat saya salut, pada bab akhir buku ini, Mas Ono menyelipkan puisi-puisi untuk Palestina. Seolah menyentil kita semua, bahwa ada saudara-saudara kita di Palestina, yang perlu uluran tangan dan doa-doa kita. Kita memang jauh, tetapi jika tragedi demi tragedi yang menimpa Palestina tak cukup mampu untuk mendekatkan hati kita padanya, apakah kita masih patut menyandang gelar manusia? Ah, Palestina, hanya dengan mengeja namanya saja aku terluka. Luka yang mudah-mudahan bisa menumbuhkan pijar empati untuk senantiasa berdiri bersamanya.

Review Kumpulan Puisi Ublik
Lembaran-Lembaran untuk Palestina


Ketika saya bertanya kembali kepada Mas Ono mengenai judul buku ini, Ublik, jujur saya merasa malu. Konon ublik adalah istilah dalam bahasa Jawa untuk menyebut lampu teplok. Saya benar-benar tidak tahu karena tidak pernah menggunakan istilah itu. Meskipun, dulu, lampu teplok pernah menjadi bagian dari keseharian. Saat lampu listrik padam, lampu teplok yang terbuat dari botol kaca, disulut api dengan bahan bakar minyak tanah, adalah andalan dalam remang dan gelap.

Kumpulan puisi Ublik ini, mudah-mudahan mampu menyinari ladang perpuisian ketika mulai menggelap. Merayakan kembali bangkitnya puisi dalam sulur-sulur makna yang menghangat. Menghadirkan empati bagi jiwa-jiwa yang mulai kosong makna. Puisi bisa saja mati, tetapi selama masih ada hati yang peka akan rasa, puisi akan bangkit berkali-kali, tumbuh dari tunas-tunas emosi yang berkelindan untuk disuarakan dan dinyalakan.


Judul Buku    : Ublik
Pengarang     : Ono Sembunglango
Penerbit         : Media Cendekia Muslim
ISBN                : 978-623-8691-180
Terbit              : Juli 2024



You Might Also Like

No comments