Review Palestine's Children - Ghassan Kanafani

Review Palestine's Children - Ghassan Kanafani

Sudah hampir setahun kita menyaksikan genosida Gaza. Kekejian dan kekejaman zionazi yang tak terbayangkan oleh akal sebelumnya, telah merongrong seluruh sendi kehidupan Palestina. Namun, dalam segala penderitaan itu, kita juga menyaksikan bahwa rakyat Palestina begitu tabah dan tangguh. Anak-anak sekalipun! Dalam banyak kesempatan wawancara, anak-anak itu menunjukkan kekuatan iman dan keberanian yang luar biasa. 

Duhai, bagaimana mereka ditempa hingga sehebat itu?

Wawancara anak-anak Palestina yang menakjubkan itu mengingatkan saya pada wawancara Ghassan Kanafani dalam sebuah film dokumenter, yang menegaskan pendirian dan keyakinannya pada perjuangan Palestina. Semangat yang sama diamanatkan Ghassan Kanafani dalam bukunya yang berjudul Palestine’s Children.

Review Palestine's Children - Ghassan Kanafani


Buku ini ditulis sekitar 20 tahun setelah tragedi Nakba 1948. Berisi empat belas cerpen yang beberapa di antaranya saling berhubungan, serta ditutup oleh sebuah novelet legendaris berjudul Returning to Haifa.

Hampir seluruh cerita berlatar sejarah perang 1967, dengan dominasi tokoh pemuda yang ingin atau sedang mengabdikan diri sebagai fidayen, sebutan bagi warga Palestina yang berjuang dan rela mengorbankan nyawa demi kemerdekaan tanah airnya.

Dalam buku ini terlihat kehebatan Ghassan Kanafani meramu cerita dengan menghadirkan tokoh yang variatif, lengkap dengan penggalian karakter, kedalaman emosi, serta latar belakangnya. Returning to Haifa bahkan membuat saya merenung cukup lama.

Returning to Haifa

Returning to Haifa berlatar pascaperang 1967, menceritakan tentang pasangan suami istri, Said dan Shafiyya, yang menjadi korban pengusiran besar-besaran sebulan sebelum tragedi Nakba 1948. Karena kekacauan yang terjadi saat itu, mereka gagal membawa serta Khaldun, bayi laki-laki mereka yang baru berusia lima bulan.

Dua puluh tahun kemudian, mereka telah hidup di bagian lain dalam wilayah pendudukan Palestina. Namun, bayangan tentang Khaldun tak pernah hilang. Dua anak mereka yang lahir dalam masa itu diberi nama Khalid dan Khalida, dari akar kata dan makna yang sama dengan Khaldun. Mereka memelihara harapan bahwa Khaldun selamat dan suatu hari bisa bertemu kembali. Said melarang Khalid bergabung dengan fidayen karena takut kehilangan putra lagi.

Didorong rasa rindu, Shafiyya berkeras untuk bisa masuk ke Haifa jika jembatan penghubung kembali dibuka. Awalnya Said menolak, tetapi nalurinya berlawanan. Mereka pun melakukan perjalanan, kembali ke Haifa, dengan membawa harapan-harapan.

Harapan Said dan Shafiyya membuncah ketika melihat rumah mereka di Haifa ternyata masih utuh, tidak banyak berubah. Rumah yang di dalamnya tertinggal bayi lima bulannya, dua puluh tahun sebelumnya.

Review Palestine's Children - Ghassan Kanafani
Image Credit: https://hyperallergic.com/

Kenyataan yang harus dihadapi, rumah itu telah ditempati pasangan pemukim asal Polandia, Iphrat dan Miriam, yang merupakan anak korban holocoust. Mereka telah merawat Khaldun dengan cara Yahudi dan memberinya nama Dov.

Kenyataan yang lebih pahit lagi, Dov telah bergabung dalam hagana, militer Israel, yang memerangi tanah airnya sendiri. Pukulan telak lagi bagi Said dan Shafiyya, karena Dov lebih memilih Miriam sebagai orang tuanya dengan argumen bahwa Said dan Shafiyya telah tega meninggalkannya dua puluh tahun sebelumnya.

Dan mungkin akan jadi hal terpahit bagi Said dan Shafiyya, jika suatu hari nanti Dov alias Khaldun akan berperang dengan Khalid, saudaranya sendiri. Said sangat yakin, dengan kepergiannya ke Haifa, Khalid pasti telah berhasil melarikan diri dari rumah untuk bergabung dengan fidayen.

Argumen antara Said dan Khaldun adalah bagian krusial dari novelet ini. Sesuatu yang menggambarkan kompleksitas identitas Palestina akibat pendudukan zionis. Keengganan Said untuk mengizinkan Khalid bergabung dengan fidayen, seolah menampar muka rezim yang tunduk pada pendudukan. Sementara pihak musuh begitu berambisi untuk menguasai tanah Palestina lebih dan lebih lagi, menggusur tiap jengkalnya.

Pada akhirnya, Said menyadari bahwa Palestina adalah tanah air berharga, yang diperjuangkan dengan memanggul senjata dan taruhan nyawa. Palestina yang dirindukan, lebih dari sekadar memori, lebih dari sekadar seorang putra, lebih dari sekadar bekas luka akibat peluru-peluru yang menyasar tangga-tangga rumah.

Review Palestine's Children - Ghassan Kanafani
Image Credit: https://www.palestinecinema.com/

Returning to Haifa pernah difilmkan pada tahun 1982 di Lebanon, tahun yang sama ketika Beirut dibombardir Israel. Film bisa ditonton di sini: Return to Haifa

Amanat Ghassan Kanafani dalam cerita-ceritanya yang ditulis sekitar lima puluh tahun yang lalu itu, kini terasa begitu istimewa, mengingat perjuangan rakyat Palestina yang belum usai. Narasinya adalah dokumen bukti sejarah penjajahan Palestina. Pendiriannya yang kuat adalah inspirasi bagi penulis-penulis lainnya, termasuk Mahmoud Darwish yang juga begitu aktif menyuarakan perjuangan.

Ketika tragedi kolektif terjadi lintas generasi tanpa jeda, percayalah, penjajahan hanya akan menumbuhkan pejuang-pejuang hebat dalam berbagai peran. Idealisme yang diwariskan turun-temurun telah membentuk jati diri bangsa Palestina yang kuat.

Begitulah karakter anak-anak Palestina ditempa.

Review Palestine's Children - Ghassan Kanafani


You Might Also Like

No comments