Museum Kebangkitan Nasional terletak di Jl. Dr. Abdul Rahman Saleh No. 26 Senen, Jakarta Pusat. Gedung yang terbilang luas dengan suasana asri ini terbagi menjadi 2 bagian museum, yaitu Sejarah Gedung STOVIA dan Sejarah Kebangkitan Nasional.
Menyusuri jengkal demi jengkal halaman gedung ini, rasanya seperti terlempar ke masa sebelum kemerdekaan Indonesia, ketika pendidikan dan pemikiran mulai memunculkan tunasnya.
Mari berjalan-jalan sejenak ke masa itu…
Gerbang STOVIA |
Bagian 1: Sejarah Gedung STOVIA
School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) merupakan pengembangan dari Sekolah Dokter Djawa yang ditetapkan Pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1851 di kawasan Senen.
Sebelumnya, pemerintah Hindia Belanda membuka Sekolah Dokter Djawa di Rumah Sakit Militer Weltevreden (sekarang Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto). Tujuan pendirian sekolah ini adalah untuk mendapatkan tenaga medis bumiputera guna mengatasi wabah penyakit cacar di Pulau Jawa. Pelajar sekolah ini awalnya hanya dari Suku Jawa karena lokasinya berada di Pulau Jawa.
Halaman STOVIA |
STOVIA didirikan sebagai pengganti Sekolah Dokter Djawa. Pelajar STOVIA tak hanya belajar ilmu kedokteran, tetapi juga ilmu budaya dan ilmu politik, agar memiliki kepekaan dan kepedulian tinggi terhadap kondisi lingkungan sekitarnya.
Pada 1 Maret 1902 gedung STOVIA diresmikan. Awalnya peresmian akan dilaksanakan 5 Oktober 1901, tetapi ditunda karena banyak pelajar yang terkena penyakit beri-beri dan wabah kolera. Gelar bagi yang lulus, tidak lagi Dokter Djawa, tetapi Inlandsche Arts (dokter Bumiputera).
Mulai tahun 1903, pengawasan tertinggi atas STOVIA diserahkan kepada Direktur Pendidikan, Agama, dan Kerajinan (Onderwijs, Eeredienst en Nijverheid) sehingga pendidikan lebih modern dengan menggunakan buku-buku yang sistematis sesuai perkembangan zaman.
Pada tahun 1904, ujian untuk lulus meliputi sembilan mata pelajaran, yaitu penyakit dalam, ilmu bedah, kebidanan, penyakit mata, kulit dan kelamin, ilmu keperawatan, dokter kehakiman, dan farmasi. Pelajar yang akan mengikuti ujian menempati kamar tersendiri, agar bisa lebih konsentrasi dalam belajar.
Pada tahun 1920, kegiatan pendidikan dialihkan ke Salemba (sekarang Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia) seiring pembangunan Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting (sekarang Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo).
Bangunan STOVIA lama kemudian digunakan sebagai tempat pendidikan sekolah Meer Uitgebreid Lager Oderwijs (MULO) yang merupakan pendidikan dasar lebih luas atau setara SMP di masa sekarang.
Pada tahun 1973, pemerintah DKI Jakarta melakukan pemugaran gedung, dan pada 20 Mei 1974 diresmikan menjadi Gedung Kebangkitan Nasional. Saat itu, gedung terbagi menjadi empat museum, yaitu Museum Budi Utomo, Museum Wanita, Museum Pers, dan Museum Kesehatan. Kemudian pada 7 Februari 1984 resmi menjadi Museum Kebangkitan Nasional.
Bagian 2: Sejarah Kebangkitan Nasional
Nusantara merupakan wilayah vulkanik dengan ciri tanah subur, sehingga menjadi tempat berkembangnya tumbuhan endemik seperti lada, pala, cengkih, gaharu, dan cendana. Tumbuhan tersebut menjadi komoditas dagang dan memiliki nilai jual tinggi. Pedagang asing dari Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda menjadikan wilayah Nusantara sebagai tujuan perdagangan. Karena kekayaan rempah-rempah tersebut, Nusantara kemudian juga menjadi sasaran kolonialisme.
Rempah-rempah Nusantara |
Penderitaan rakyat akibat kolonialisme dan kebijakan pemerintah Hindia Belanda, baru diketahui oleh masyarakat di Belanda setelah ditulis dan disebarkan. Tulisan tersebut berhasil mengubah opini masyarakat Belanda terhadap rakyat di tanah jajahan.
Pada 1860, Eduard Douwes Dekker (nama pena: Multatuli) menulis buku Max Havelaar, yang menceritakan kebijakan tanam paksa dan penyimpangannya. Kemiskinan dan kelaparan terjadi di mana-mana. Rakyat sungguh menderita.
Pada 1899, Conrad Theodor van Deventer menulis artikel berjudul Een Eereschuld atau Hutang Kehormatan, yang berisi himbauan agar pemerintah Kerajaan Belanda mengembalikan keuntungan bersih yang diterimanya kepada rakyat di tanah jajahan. Tulisan tersebut dijadikan rumusan kebijakan politik etis di Nusantara.
Pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina menegaskan, bahwa pemerintah Kerajaan Belanda mempunyai hutang budi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di Hindia Belanda melalui irigasi, emigrasi, dan edukasi.
Ruang Kebangkitan Pendidikan Bumiputera
Pelaksanaan politik etis menyimpang jauh dari usaha menyejahterakan rakyat, karena dalam praktiknya diarahkan untuk mendatangkan keuntungan bagi pemerintah. Saluran irigasi dibangun untuk kepentingan perkebunan, emigrasi dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan tenaga buruh di perkebunan, dan rakyat diberi pendidikan untuk mendapatkan pegawai rendahan dengan gaji murah.
Kebijakan politik etis yang dinilai menguntungkan adalah edukasi, karena rakyat diberi kesempatan sekolah. Terbukanya kesempatan memperoleh pendidikan, melahirkan golongan Priyayi Baru, yaitu kelompok masyarakat terdidik yang diangkat menjadi pegawai pemerintah. Mereka memegang peranan penting pada masa kebangkitan nasional.
Tokoh-tokoh yang muncul dalam pergerakan pendidikan antara lain R.A. Kartini, Dewi Sartika, dan Ki Hajar Dewantara.
Ruang Pelopor Kebangkitan Nasional
Pada 20 Mei 1908 pelajar STOVIA mendirikan perkumpulan Boedi Oetomo dengan ketua Soetomo. Perkumpulan ini mendapat dukungan luas sehingga pada akhir 1909 memiliki 40 cabang dengan 10.000 anggota. Boedi Oetomo mengubah bentuk perjuangan dalam melawan penjajah, dari mengandalkan kekuatan fisik menjadi perjuangan menggunakan pemikiran. Boedi Oetomo menginspirasi tokoh-tokoh pergerakan lainnya untuk mendirikan perkumpulan sebagai wadah perjuangan melawan penjajahan.
Ruang Kebangkitan Pemikiran
Boedi Oetomo menjadi pelopor lahirnya perkumpulan Sarekat Islam, Indische Partij, Muhammadiyah, Tri Koro Darmo, Nadhatul Ulama, dan Partai Nasional Indonesia. Perkumpulan tersebut memiliki ideologi berbeda, tetapi tujuan perjuangannya sama yaitu Indonesia merdeka. Perjuangan melawan kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang merugikan rakyat dilakukan dengan menulis kritik di media massa dan melakukan aksi massa. Perjuangan melalui pemikiran mampu menggetarkan sendi-sendi pemerintahan yang sudah mapan karena dilakukan secara berkesinambungan sehingga berdampak luas.
Tokoh yang kerap beropini di media massa, antara lain Soetomo, Ki Hajar Dewantara, Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, dan dr Muhammad Amir.
Ruang kebangkitan Kebudayaan
Priyayi Baru menjadi pelopor pemikiran cita-cita ke-Indonesiaan, yaitu terwujudnya tatanan masyarakat baru yang lepas dari belenggu penjajahan. Usaha tersebut diawali dengan Kongres Memajukan Kebudayaan Jawa pada 1918, yang dilanjutkan dengan Kongres Pemuda pada 1928. Rumusan cita-cita ke-Indonesiaan terus menjadi tema perdebatan para intelaktual Tanah Air, yang dikenal dengan Polemik Kebudayaan. Kebangkitan budaya penting diwujudkan karena menjadi salah satu dasar dalam mewujudkan tatanan masyarakat sejahtera, adil, dan makmur.
Ruang Kebangkitan Teknologi
Proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah puncak dari kebangkitan nasional, tetapi bukan akhir dari perjuangan. Pembangunan di segala bidang dengan menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi terus diupayakan. Ruang kebangkitan teknologi yang menjadi penghujung museum, sekaligus merupakan tantangan dan renungan bagi generasi penerus, untuk terus berjuang, berinovasi, dan berkolaborasi untuk kemajuan bangsa.
Menyusuri kembali halaman bagian belakang museum, menyaksikan ruang-ruang yang dulunya adalah arena pembelajaran. Kini, ruang-ruang itu tetap berfungsi sebagaimana awalnya, meskipun dengan subjek yang berbeda.
Dari jendela laboratorium |
Lihat saja, aula yang menjadi tempat berkumpulnya anak-anak latihan berkesenian. Kafe di ujung bangunan, yang dilengkapi dengan perpustakaan dengan koleksi buku beragam.
Saya percaya, Indonesia akan terus tumbuh dan berkembang di tangan generasi yang senantiasa belajar dan mengambil hikmah dari sejarah.
No comments