“Are you Indonesian?”
“Yeah. And are you Pakistani?”
“No, I’m a Palestinian.”
And time went by ...
Dear gadis Palestina..
Waktu itu aku salah mengenali asal-usulmu. Setelahnya kita tertawa, saling berjabat tangan dan menyusuri jalan Ibrahim Al Kahlil bersama. Lalu, aku melupakan namamu begitu saja.
Dear gadis Palestina..
Beberapa waktu ini, aku melihat negerimu kembali tercabik, untuk ke sekian kalinya. Lagi dan lagi. Tanah negerimu terus dicaplok, tempat tinggal warga kian menyusut, ruang gerak terbatas. Gedung-gedung kotamu luluh lantak diterjang kebiadaban. Penduduk dibantai dalam kesewenang-wenangan. Anak-anak negerimu yang tak berdosa kehilangan orang tua, sanak saudara, tempat tinggal, bahkan hidup mereka sendiri. Tragedi silih berganti, menyisakan trauma yang mungkin bekasnya tak kan pernah terhapus.
Air mata ini tumpah ruah ketika menyaksikan gedung pers kotamu dihujani rudal lalu runtuh seruntuh-runtuhnya dalam hitungan detik. Tujuannya apa selain membungkam kebebasan bersuara kalian? Maksudnya apa selain menyembunyikan tangis penderitaan kalian dari gegap-gempita dunia? Laboratorium yang urgen pada masa pandemi pun tak luput dari amukan rudal bengis. Perjuangan negerimu melawan pandemi menjadi tersaruk-saruk karenanya. Saat negeri-negeri lainnya terseok-seok menghadapi pandemi, negerimu melawan kebrutalan sekaligus, dengan ancaman virus yang belum juga beranjak.
Ketidakadilan demi ketidakadilan yang menggerogoti negerimu, menyisakan sendi-sendi kehidupan yang nyaris lumpuh. Negerimu bak penjara raksasa. Negerimu dijarah, ditikam, ditindas, dijajah. Hak asasi manusia dirampas semena-mena. Virus dan parasit zionis Israel mengepung negerimu, masif, sporadis, dari segala sisi.
Dear gadis Palestina..
Sungguh, negerimu sungguh terpilih, untuk terus berjihad sepanjang zaman. Sungguh, setiap hela napas penduduk negerimu adalah perjuangan tanpa henti, tak kenal lelah.
Wahai, ke mana gerangan perginya hati nurani penguasa?
Organisasi dunia yang katanya pengayom perdamaian itu, bahkan tak pernah memberi solusi. Setiap menawarkan perundingan damai, selalu berakhir dengan negerimu adalah pihak yang merugi. Lalu penjajah negerimu pun ingkar, makin leluasa melebarkan sayapnya, menggerus tiap jengkal tanah negerimu dengan pongah.
Penjajah negerimu itu, ah, aku tak mau menyebutnya sebagai negara. Negeriku pun tak sudi mengakui keberadaannya sebagai negara. Hubungan bilateral resmi tak terjalin. Tak ada kedutaan. Kau tahu, sejak awal, negeriku -negeri dengan penduduk Muslim terbesar- terus konsisten mendukung dan membelamu. Amanat konstitusi negeri kami jelas, bahwa penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Kami juga memiliki sejarah dijajah, ratusan tahun. Oya, sejarah mencatat negerimu lah yang pertama kali mengakui kemerdekaan negeriku. Secara psikologis, persamaan pengalaman dijajah akan menghadirkan empati. Jika ada pihak-pihak tertentu yang memprovokasi untuk tak peduli, artinya mereka telah kehilangan nurani. Ya begitulah, tak semua individu dianugerahi empati. Asal kau tahu, terkadang empati memang sangat mahal di negeriku.
Dear gadis Palestina..
Aku tak bermaksud mengotak-ngotakkan
umat. Karena, tidak semua Israel itu Yahudi. Tidak semua Yahudi mendukung
zionisme. Zionisme tak hanya didukung oleh orang Yahudi. Begitu pun, tidak
semua orang Palestina itu Muslim. Ada populasi Nasrani di Palestina yang pasti
juga ingin mempertahankan tanah airnya. Bisa dibilang, ini sangatlah kompleks,
menyangkut semua aspek: agama, sosial, budaya, politik dan ekonomi. Namun, satu
hal yang pasti dan sudah terjadi untuk sekian lamanya, ini adalah penjajahan
dan pelanggaran hak asasi manusia. Kejahatan kemanusiaan. Dunia tak bisa
menutup mata untuk itu.
Dear gadis Palestina..
Ambisi zionis Israel sangat jelas: mendirikan negara Israel raya dengan ibukota Yerusalem. Maka negerimu lah yang lebih dahulu dianeksasi. Karena, mereka meyakini reruntuhan Haekal Sulaeman yang mereka banggakan ada di bawah kompleks Masjidil Aqsa. Tetapi, apakah mereka akan berhenti sampai di situ? Sepertinya tidak. Bendera mereka jelas menyiratkan ambisi itu. Simbol bintang david biru itu, melambangkan sungai Nil dan sungai Efrat, yang membentang dari Mesir hingga Persia, yang berarti hampir seluruh wilayah Timur Tengah adalah tujuan mereka. Cuilan ayat ‘tanah yang dijanjikan’ sesungguhnya hanya eksploitasi agama untuk tujuan pragmatis semata, demi melanggengkan ambisinya. Penggiringan opini yang bias makna. Seolah-olah itu adalah legitimasi klaim Yahudi atas Timur Tengah. Jika ditelisik sejarah dengan runut, bukankah ribuan tahun lalu mereka mengingkari Nabi Musa dan tanah Palestina, lalu banyak berbuat kerusakan? Dan sekarang, mereka mencoba menjilat ludah sendiri. Membolak-balikkan fakta.
Mendirikan negara di atas negara orang selamanya tak bisa dibenarkan. Tetapi zionis Israel menempuh segala cara, supaya bangsa mereka punya ‘rumah’ dan tidak punah. Mereka takut gerakan antisemitisme bangkit lagi. Ditambah trauma holocaust yang dilakukan oleh nazi terhadap bangsa mereka. Maka mereka tak akan berhenti.
Ketika dunia ramai mengutuk, mereka berdalih mempertahankan diri dan melawan terorisme. Mereka memainkan drama seolah-olah mereka yang tersakiti untuk menarik simpati dunia. Sungguh, playing victim yang membuat muak. Dan tentu saja, negara digdaya adikuasa lah yang paling banyak memberikan simpati. Bahkan rela menggelontorkan dana untuk kebutuhan militer, yang jika dihitung, bantuan yang diberikan untuk setiap individu Israel jumlahnya lebih banyak dibandingkan untuk setiap rakyat Amerika sendiri. Miris! Ada Kepentingan apa di balik semua kolusi itu jika bukan karena ingin mengeksploitasi ladang minyak Timur Tengah? Ah ya, negerimu dan sekitarnya memang diberkahi sumber daya alam yang melimpah. Buktinya mereka menolak mentah-mentah ketika Inggris akan memberikan tanah di Afrika, alih-alih kukuh menyerobot negerimu.
Dear gadis Palestina..
Seiring dengan kemajuan teknologi informasi, kesadaran akan hak asasi manusia menjadi masif. Kondisi pandemi juga melatih manusia untuk lebih terasah rasa sensitivitas dan solidaritasnya. Maka, hatiku sungguh trenyuh saat ada banyak negeri, tokoh dan lembaga kemasyarakatan yang memberikan simpati untuk negerimu. Masih banyak yang peduli dan memiliki empati.
Dear gadis Palestina.. Tolong sampaikan ke warga negerimu, kalian tak sendiri. Masalah kalian adalah masalah umat. Kita semua bersaudara. Ketika salah satu dizholimi dan terluka, semua akan merasakan sakit. Maka, teruslah berjuang.
Sebagai rakyat kecil, kami -yang paling tidak masih bernurani dan berakal- mungkin hanya memainkan peran yang tak banyak memberi pengaruh. Kami hanya bisa berdoa yang insyaallah sambung-menyambung tak terputus untuk pulihnya kesejahteraan negerimu dan sedikit berdonasi untuk meringankan warga negerimu yang terdampak kebiadaban.
Selain itu, ada pekerjaan rumah yang harus kami lakukan. Kami harus terus meng-upgrade iman dan ilmu. Kami meyakini Baitul Maqdis adalah tempat suci ketiga umat Muslim, yang harus dibela dan dipertahankan dengan segenap kemampuan. Kami percaya, segala yang terjadi sudah digariskan Allah. Maka, yakin Allah akan memberikan pertolongan. Kami juga harus mempelajari sejarah dan perkembangannya. Kami berharap dengan itu, wawasan dan perspektif akan terus terasah, sehingga mampu membedakan mana yang haq dan mana yang batil. Ke depannya, mudah-mudahan tumbuh generasi yang akan menjadi pemimpin adil dengan pengetahuan benar dan mumpuni, yang mungkin salah satunya berperan aktif untuk kedamaian dan kemerdekaan negerimu.
Pemimpin yang tak goyah oleh kepungan liberalisme. Pemimpin yang tak mudah dicocok hidungnya dengan iming-iming keduniawian. Pemimpin adil, yang mampu menyuarakan kebenaran.
(Sungguh menjadi pemimpin yang adil itu susah, Jenderal! Kau tahu Jenderal, pemimpin yang adil itu lebih baik dari ahli ibadah, karena menyangkut hajat hidup orang banyak! Asas kebermanfaatan untuk sesama lebih penting. Jika kau tak bisa memimpin dengan adil ya tak usah jadi pemimpin. Kelak, hisab pertanggungjawabannya panjang, Jenderal)
Dear gadis Palestina.. Kami tak bisa membasuh luka dan menghapus air mata negerimu secara langsung. Kami tak mampu menggenggam tangan dan menepuk punggung untuk sekadar meringankan kesedihan negerimu. Tetapi percayalah, kami ada, berdiri tegak bersamamu. Kami belajar dari semut, yang turut serta berusaha memadamkan api yang akan membakar Nabi Ibrahim ketika menghadapi amukan Namrud yang pongah. Meski kecil, mustahil, hampir tak terlihat, tetapi jelas ada di pihak mana. Bahkan seekor semut pun tahu berpihak pada kebenaran dan takut akan kepastian hisab kelak.
Dear gadis Palestina.. Ah, entah bagaimana kabarmu kini. Sungguh, kami ingin mengunjungi Al Quds-mu. Tempat mulia yang telah dibebaskan Sayyidina Umar Bin Khattab, yang dengan tangannya dibersihkan tiap jengkal tanah yang kala itu dijadikan tempat sampah, sesudah dihancurkan berkali-kali oleh bangsa perusak. Yang mengajarkan indahnya toleransi dengan tetap membiarkan gereja-gereja di sekitarnya berdiri, tak mengusik kehidupan yang telah ada sebelumnya.
Dear gadis Palestina, tolong
sekali lagi sampaikan ke warga negerimu. Terima kasih, kalian sudah berjuang di
garda terdepan menjaga tanah suci ketiga umat Muslim. Tetaplah kuat dan tegar! Maafkan
jika kami sering abai dan tak banyak yang mampu dilakukan. Kami berharap, 1.9 milyar umat Muslim di dunia ini akan bergandengan tangan mendukung dan
membelamu, serta merasa malu jika mudah dipecah-belah karena provokasi yang tak
berdasar. Seumpama, 1.9 milyar semut mampu menjatuhkan seorang raksasa perkasa. Mudah-mudahan, jumlah umat yang melimpah ini, kami, tak sekadar menjadi buih di lautan.
Ini goresan rindu yang kutulis untukmu, sabahat Palestinaku. Mungkin aku telah melupakan namamu. Tetapi, nama negerimu selalu ada dalam sanubari, mengalir dalam nadi doa-doa, “Ya Allah, mohon jaga saudara kami di Palestina. Muliakan mereka, merdekakan mereka Ya Allah. Aamiin.”
Semalam ikut zoom sekolah anak tentang Palestina, duh langsung netes air mate lihat anak2 korban pemboman dan penyerangan zionis. Rasanya malu baru bisa memberi mereka doa dan donasi, semoga Allah memberi Palestina anugerah kemenangan dan kedamaian
ReplyDeleteAamiin Ya Rabb. Iya, berbagai dokumenter yang kuliat juga bikin rembes mata. Ada rasa bersalah ketika di sini kita bisa makan enak tidur nyenyak, sementara mereka dilanda ketakutan tiap saat
DeleteIkut melting membaca tulisanmu
ReplyDeleteMakasih, Mbak Afra berkunjung :)
Delete