When someone in your circle or neighborhood is infected, that's when you believe the virus exists.
Di masa lalu, mana tahu kita akan sampai ke sebuah masa seperti saat ini. Masa ketika segala sesuatunya serba berjarak. Ruang gerak terbatas. Hal-hal yang sangat biasa kita lakukan, kini menjadi sesuatu yang 'luar biasa'. Beberapa hal, malah terkadang terasa seperti di luar jangkauan. Kita tak pernah menyangka bahwa pandemi ini benar-benar nyata adanya.
Dulu, kita bebas saja travelling ke mana suka. Sekadar ngemall, nonton bioskop, nongkrong sembari ngopi di resto favorit, piknik rame-rame, berkomunitas. Kini? Jangankan hal-hal yang sifatnya bepergian keluar rumah seperti itu. Sekadar untuk ngobrol bareng teman saja, harus benar-benar berjarak. Makan siang bersama teman kantor, yang dulu bisa dilakukan sambil bergosip ria (ups), sekarang harus dilakukan dengan menatap tembok (pengalaman pribadi). Tak ada lagi bebas bercengkerama. Semua sebisa mungkin dilakukan dengan menjaga jarak. Bahkan untuk sholat pun, kita harus mengatur shaf sedemikian rupa supaya tak bersinggungan. Sedih? Pasti! Lalu tebersit pertanyaan-pertanyaan. Kapan semua ini berlalu? Kapan hidup kita kembali normal? Kapan rencana-rencana kita yang tertunda akan terwujud? Dan segala macam pertanyaan berkecamuk dalam pikiran.
Kita sama-sama tahu, bahwa virus ini benar-benar baru. Ia lebih cepat menyebar dibandingkan dengan influenza. Meskipun memiliki gejala yang hampir sama, tapi virus ini bisa menyebabkan komplikasi serius yang berakibat fatal. Lebih riskan lagi jika menginfeksi orang dengan ada riwayat komorbid (penyakit penyerta). Sementara vaksin belum ada. Meski banyak yang berhasil sembuh, tapi bukankah penduduk dunia sudah berkurang ratusan ribu orang karena pandemi ini? Dan lingkaran virus itu akan terus berputar jika kita tidak sigap mematahkan rantainya.
Bukan maksud untuk menakut-nakuti. Tapi, kadang kita suka menggampangkan sesuatu. Kita baru percaya virus ini ada setelah orang-orang di sekitar kita terinfeksi. Lalu secara tak sadar, kita pun ada dalam lingkaran OTG (Orang Tanpa Gejala) yang mau tidak mau harus melakukan serangkaian pemeriksaan. Dan cemas pun melanda. Padahal sebelumnya, mungkin kita abai pada beberapa hal, yang kemudian baru kita sadari belakangan.
Tak bisa dipungkiri, setelah penerapan PSBB (Penerapan Sosial Berskala Besar) dicabut, terjadi second wave, yang berakibat kurva tak kunjung-kunjung turun. Please, sekali ini ayolah kita sama-sama peduli. Ikuti anjuran pemerintah. Kalau dihimbau untuk stay di rumah, ya sebisa mungkin kita tidak keluar jika tak perlu-perlu amat. Boleh saja sesekali keluar, membeli persediaan makanan itu harus. Tapi hal-hal yang sifatnya 'hura-hura', bolehlah itu ditunda dulu. Lagipula, zaman sekarang, bermacam barang bisa dibeli secara online kan? Jadi, kemudahan yang ada seharusnya cukup membantu kita untuk meminimalkan kontak dengan dunia luar.
Jika ingin kurva segera menurun, rantai penyebaran itu harus diputus. Kita bisa mulai dari diri sendiri, dengan cara tertib dan konsekuen menjalankan protokol kesehatan. Sebenarnya, jika kita sudah terbiasa menerapkan pola hidup bersih dan sehat, protokol kesehatan yang harus dijalani itu bukan sesuatu yang sulit. Ini hanya tentang membiasakan diri. Masa New Normal adalah tentang menerapkan kebiasan-kebiasaan baru yang baik, supaya kita dan lingkungan sekitar tetap terlindungi.
Tiga hal penting berkaitan dengan perlindungan diri ini adalah masker, cuci tangan dan physical distancing.
Penggunaan masker sangat vital, untuk mencegah droplets terhirup. Usahakan untuk selalu memakai masker jika keluar rumah. Jika bergejala, di rumah pun tetap dianjurkan memakai, untuk mengurangi paparan anggota keluarga lainnya. Saya sendiri sebagai pekerja rumah sakit, hanya membuka masker pada saat wudhu dan makan. Awalnya memang tidak nyaman memakai seharian, karena tidak leluasa bernapas. Tapi sekali lagi, ini adalah usaha utama untuk membentengi diri dengan menghambat virus masuk. Jangan mendzolimi orang lain dengan tidak memakai masker saat ngobrol. Kita tidak pernah tahu, kita 'membawa' virus itu atau tidak. Kita bersih sekarang, belum tentu nanti. Tak ada yang pasti. Dengan memakai masker berarti kita melindungi diri dan orang lain dari kemungkinan percikan virus. Hei, apakah kau pernah melihat ada orang-orang yang suka meludah sembarangan dan batuk tanpa menutup mulut di jalan? (Padahal batuk dan meludah pun ada etikanya). That's the point. Kita tak pernah tahu akan berpapasan dengan siapa saja, di mana saja. Tanpa masker, risiko terkena percikan jadi sangat tinggi. Memakai dan melepas masker pun, ada tata caranya. Jangan pernah remehkan itu. Usahakan membawa cadangan masker jika harus bepergian seharian.
Selanjutnya, cuci tangan dengan air mengalir atau hand sanitizer juga tak kalah pentingnya. Saat beraktivitas seharian di luar rumah, kita banyak bersinggungan dengan banyak orang dan barang. Risiko virus menempel di tangan bisa dienyahkan dengan rajin mencuci tangan. Perkara cuci-mencuci ini bukan hanya tentang tangan karena menyentuh ini-itu, tapi juga baju dan perlengkapan lain yang kita pakai. Dan cuci mencuci ini memang menjadi siklus tanpa henti. Pun pada masa sebelum pandemi. Hanya saja sekarang, siklusnya lebih pendek. Menjadi slogan saya, tiada hari tanpa mencuci. Ini penting, apalagi saya sebagai pekerja rumah sakit. Baju yang dipakai dari rumah harus diganti dengan baju steril begitu sampai kantor. Waktu pulang, ganti baju sendiri. Sampai rumah langsung dicuci, tanpa menunggu nanti-nanti. (Sepertinya keranjang cucian saya selalu tersenyum lebar, karena tidak ada beban yang harus ditanggungnya berlama-lama). Percayalah, langsung mencuci baju kotor tanpa menunda-nunda itu akan membuat weekend terasa lebih indah.
Kalau di awal-awal pandemi, sosial distancing begitu dianjurkan. Sekarang lebih spesifik menjadi physical distancing. Kendaraan yang melaju di jalan raya saja ada jarak amannya. Apalagi masa pandemi ini, yang kita tidak tahu kecepatan malaju si virus. Jaga jarak sangat menentukan akumulasi paparan. Sementara kita batasi dulu bertemu banyak orang. Hindari kerumunan. Usahakan jika harus ngobrol, jaga jarak aman minimal 1 meter. No hand shake, No cupika-cupiki, No hugging each other. Tapi kok kesannya jadi so selfish gitu ya? Tak apa. It's for a while. Ada hal-hal lain yang bisa kita bagi. Ada aktivitas lain yang bisa kita lakukan, yang menggambarkan kebersamaan. Sedekah masker dan hand sanitizer, misalnya. Atau membantu memberi sembako pada beberapa pekerja harian yang terdampak pandemi? Itu sangat mulia.
Fokus kita sekarang memang berkaitan dengan Covid-19. Tapi jangan terlena, tetap harus waspada dengan berbagai macam penyakit lain yang mengintai. Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan sering sekali mengkampanyekan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat. Harapannya supaya kita sadar, mau dan mampu berperilaku sehat untuk meningkatkan kualitas hidup. Dan slogan yang dipakai tidak sulit kok untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Adalah Si Cerdik yang akan membantu kita mengingat pola hidup sehat itu. C-E-R-D-I-K yang berasal dari akronim:
Cek kesehatan secara berkala
Enyahkan asap rokok
Rajin aktivitas fisik (olahraga)
Diet sehat dan seimbang (tambahan: minum vitamin jika perlu)
Istirahat cukup
Kelola stres
Rasanya, poin terakhir dari Cerdik itu perlu juga untuk digarisbawahi. Kelola stres. Ya, situasi yang serba tak pasti kadang membuat kita kesulitan untuk berpikir jernih. Melihat kurva yang terus bergerak naik, tekanan darah ikut naik. Mendengar berita tentang bertambahnya korban, mood langsung berubah-ubah. Kalau sudah seperti itu, kurangi nonton berita. Baca berita dari sumber-sumber terpercaya. Hati-hati, konon katanya stres bisa mengikis imun. Padahal imun yang baik adalah senjata kita untuk perang melawan virus. Sekarang, coba kau bayangkan. Jika orang yang kau kenal, sehari-hari melakukan aktivitas bersamamu. Iya, simpelnya, temanmu atau tetangga dekatmu. Dia terlihat sehat wal afiat, tak ada gejala dan keluhan. Hasil rapid test-nya pun non reaktif. Tapi ternyata hasil swab test-nya positif. Kemungkinan itu bisa terjadi. Pada saat itulah, kau akan mulai gelisah. Mungkinkah kau tertular? Lingkungan bisa menjadi tiba-tiba resah. Ada kalanya saling menyalahkan, kok bisa, kok bisa. Di situlah, kita harus tetap berpikir jernih. Jika kita harus melakukan serangkaian pemeriksaan, ya ikuti saja. Bukankah melegakan mengetahui apa yang ada di dalam tubuh sendiri? Jika sedini mungkin terdeteksi, semakin mudah untuk pulih kan? Pun jika harus isolasi mandiri, ikuti saja prosedur yang ada. Jujur pada diri sendiri dan lingkungan itu perlu. Percayalah menunggu hasil rapid test atau swab test itu memang sangat memengaruhi psikis. Maintain our mental health first! It's really matter.
Omong-omong tentang rapid test dan swab test, jangan senang jika hasil rapid test non reaktif atau swab test negatif. Itu kan hanya hasil saat kita ditest. Sesudah itu kita beraktivitas lagi, pasti terkena paparan lagi. Risiko akan selalu ada, tiap saat, sampai vaksin ditemukan. Catatan ya, rapid test itu hanya untuk mengetahui apakah imun kita baik atau tidak, bukan menentukan positif atau negatif. Swab-lah yang lebih akurat.
Sambil menunggu vaksin diujicobakan, mari sama-sama berdoa untuk perjalanan vaksin itu sendiri. Semoga ilmuwan-ilmuwan yang sekarang sedang memperjuangkan vaksin ini diberi kesehatan dan kemudahan. Kita tetap positive thinking. Meski di luar sana ada beberapa teori konspirasi mengenai Covid-19 ini, tetap saja, ini sudah menjadi ketetapan Allah. Mungkin tahun ini menjadi tahun terberat bagi sebagian orang. Tahun penuh perjuangan yang akan selalu dikenang. Kita telah menjadi bagian sejarah, saksi pandemi ini.
Yakin pandemi ini akan berlalu jika kita bersama-sama melakukan yang terbaik. Ini tentang tanggung jawab. Menjaga diri sendiri berarti menjaga orang lain. Menjaga orang lain berarti menjaga lingkungan. Menjaga lingkungan karena kita menyayangi sekitar. Melindungi mereka berarti menyayangi sesama. Jika kita peduli, negeri akan pulih kembali. Dunia pun akan kembali tersenyum. Dan kita bisa beraktivitas normal kembali. Ah, rasanya sudah rinduuuuu melakukan perjalanan.
Sesederhana itu, kita hanya perlu sabar, berusaha dan berdoa tanpa lelah. Insyaallah ikhtiar yang baik akan menuai hasil baik juga. Pelajaran yang patut direnungkan dari Hajar yang berlari-lari tanpa lelah dari bukit Safa dan bukit Marwa demi mendapatkan air. Zam-zam adalah anugerah dari Allah setelah ikhtiarnya. Hajar tidak mendapatkan itu dengan mudah bukan?
Selamat Idul Adha 1441 H
(Saat isolasi mandiri, berharap terbaik di kala menunggu hasil swab)
No comments