“Sejauh apapun kau pergi, keluarga tetap menjadi rumah yang
indah untuk kembali.”
Tak pernah terlintas sedikitpun dalam
benak Danum untuk meninggalkan Betang. Rumah adat Kalimantan Tengah itu sangat
berarti untuknya. Ada banyak kenangan yang terlipat rapi di dalamnya. Ada
banyak nama yang terukir indah di setiap sudutnya. Senyum dan keceriaan
penghuninya erat tertancap, sekokoh tiang-tiang penyangganya.
Kai dan Ini, begitu Danum
menyebut Kakek dan Neneknya. Dua orang yang sangat disayanginya. Mereka telah
merawatnya dengan penuh kasih. Kematian sang Ibu dan kepergian sang Ayah
bersama seorang kakak lelakinya menyisakan luka untuknya. Luka itu kian perih
ketika suatu hari sang Kakak kembali karena sang Ayah masuk penjara. Dan luka
itu sempurna menganga ketika sang Nenek juga menutup usia. Sebuah awal yang
sulit. Tapi Arba, kakaknya, tumbuh menjadi seorang pelindung bagi Danum dan
Kakeknya. Mereka hidup bertiga, saling melengkapi.
Hidup di lingkungan Betang yang dikelilingi
oleh sungai, menumbuhkan kecintaan dayung pada diri Danum. Ia mewarisi bakat
mendayung dari Kakek dan Neneknya. Hingga suatu hari ia bertemu dengan Dehen,
teman sepermainannya yang sama-sama menyukai dayung. Dayung mengakrabkan
mereka. Dayung membentangkan sebuah harapan untuk masa depan.
Dan sejak saat itu, aku dan Dehen semakin menyukai dayung.
Beberapa kali kami ikut dalam regu perahu naga di perayaan desa. Hingga suatu
hari anak lelaki itu mengatakan padaku, “Kata Ayah kalau kita rajin berlatih,
kita bisa jadi atlet dayung dunia.”
Ya, Dehen benar-benar memperjuangkan
mimpinya. Ia berhasil masuk Pelatda, menjadi seorang atlet dayung. Impian terbesarnya
adalah masuk Pelatnas dan bisa mewakili Indonesia di
kancah dayung Internasional. Keluarganyapun pindah ke Palangkaraya. Sementara
Danum, berkali-kali gagal di Pelatda. Kekecewaannya tergenapi ketika satu demi
satu rumah Betang ditinggalkan penghuninya.
Masa itu telah tertinggal jauh di belakang sana. Sementara
aku pun masih saja berdiri di sini. Tidak pernah kemana-mana. Jangankan menjadi
atlet dunia, untuk tingkat Pelatda saja aku selalu gagal. Benar seperti kata
Arba,aku atlet jago kandang.
Ketika surat panggilan untuk mengikuti seleksi masuk pusat
Pelatda kembali menghampiri, Danum meragu. Tapi Arba ada di sampingnya,
mendorong dan mendukungnya dengan tulus. Dan perjuangan itupun dimulai kembali.
Ia berkomitmen untuk berprestasi, dengan disiplin dan berlatih keras.
Olahraga dayung tidak terlihat sesantai saat mendayung dengan bersenang-senang. Karena dalam
pertandingannya memerlukan tes ketahanan yang diselesaikan dalam kecepatan
hingga 10 meter per detik.
Dan saat kemenangan hampir digenggamnya, ia dihadapkan pada
sebuah tragedi. Mampukah ia bertahan? Ataukah ia memilih menyerah? Ia juga
dicekam dilema. Pertemuan dengan Dehen, menyemai kembali bibit perasaannya yang
tumbuh sejak lama. Sementara Sallie, pasangannya dalam tim dayung putri, juga
menyimpan perasaan yang sama pada Dehen. Mampukah ia berfikir bijak, sementara
ia harus tetap fokus pada dayung?
Tapi aku telah memilih jalan ini, yang kujalani dengan penuh
cinta. Karena aku tahu, untuk sampai di sini bukan hal yang mudah.
Nilai motivasi dalam novel ini cukup kental. Quote-quote
manis bertebaran di setiap babnya. Shabrina Ws juga menghadirkan setting yang
apik dan detail mengenai tanah Borneo. Rumah Betang, Sungai Barito, Jukung
sampai pesta Bapapai adalah nilai budaya yang berhasil dikombinasikan menjadi
kisah menawan. Selain itu, tersirat pesan tentang konservasi lingkungan. Pohon
ulin, aggrek hitam, anggrek pensil dan anggrek mutiara adalah tanaman-tanaman
langka yang perlu dijaga kelestariannya.
Judul
Buku : Betang, Cinta yang Tumbuh dalam
Diam
Pengarang : Shabrina Ws
Penerbit : Quanta (imprint PT. Elex Media
Komputindo)
Tebal : 175 Halaman
Terbit : Oktober 2013
ISBN : 978-602-02-2389-6
Harga : Rp. 29.800,-
huaaa...aku belum dapet2 si betang ini:(
ReplyDeletehayuuuk diserbuuuu :D
DeleteSaaaan,, mmakasiiih banget Dear 😊
ReplyDeleteMbak Brinaaa... hihiihi, almost two years ago :D
DeleteYa ampun, kangen banget ngeblog...