Ada yang terserak dari masa lalu. Sebuah kisah di
tengah hingar-bingar politik saat itu. Ini tentang cinta yang manis namun
perih. Kisah yang terjadi di kampus
terbesar di Jogjakarta, yang dilatarbelakakangi masa sebelum dan sesudah reformasi
1998.
Krisis moneter yang terjadi pada pertengahan 1997,
menyebabkan harga kebutuhan melambung. Daya beli masyarakat berkurang, rakyat
menderita. Mahasiswa, yang menganggap dirinya sebagai golongan terdidik dan
terpelajar merasa harus menyuarakan pendapatnya. Mereka menuntut adanya
perubahan. Mereka bersumpah, berjuang bersama rakyat. Mereka menyebutnya sumpah mahasiswa.
Kami, mahasiswa Indonesia,
bersumpah, bertanah air yang satu; tanah air tanpa penindasan.
Kami, mahasiswa Indonesia,
bersumpah, berbangsa yang satu; bangsa yang penuh keadilan.
Kami, mahasiswa Indonesia,
bersumpah, berbahasa satu; bahasa tanpa kebohongan.
Itu hanya penyaduran ulang dari Sumpah Pemuda
tahun 1928. Hanya baris-baris sederhana. Namun pada waktu itu, semua orang
membutuhkan sesuatu untuk diteriakkan. Meneriakkan apa saja yang bisa mewakili
perasaan mereka. Yang bisa menumpahkan kebebasan bersuara yang telah begitu
lama ditekan sebelumnya. (Halaman 194)
Ya, kebebasan bersuara itulah yang sepertinya
musnah ditebas kekejaman rezim pemerintahan, yang selama puluhan tahun dikuasai oleh satu
partai ‘itu-itu’ saja. Hal itu pula yang melatarbelakangi beberapa anggota BEM
(Badan Eksekutif Mahasiswa) Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada. Nino, salah
satunya. Ia memiliki alasan kuat mengapa harus menghidupkan kembali radio
Jawara FM, kebanggaan mereka. Mereka sadar, keberadaan radio yang mengudara
tanpa izin dari Departemen Perhubungan Republik Indonesia adalah pelanggaran.
Tapi keadaan memaksa mereka untuk tetap bersuara. Bagi mereka radio adalah
sarana efektif untuk menyambung lidah rakyat.
Di sanalah ia bertemu dengan Nalia, mahasiswi
kedokteran gigi yang kebetulan ingin menggunakan jasa radio untuk promo
festival yang akan mereka selenggarakan.
Dua fakultas yang tidak pernah akur, tapi nyatanya membuat dua insan
penghuninya justru saling jatuh cinta. Dan di festival itulah, segala kekacauan
itu berawal.
Itulah masa-masa orde baru yang paling gelap
setelah tahta kekuasaannya yang berpuluh-puluh tahun. Kekuatan-kekuatan telah
bertukar menjadi kebencian. Generasi yang tumbuh besar pada dekade terakhir
rezim ini kian terkumpul membentuk kekuatan yang tidak pernah diduga
sebelumnya. Perlawanan dari pasukan militer pun semakin keras. (Halaman 211)
Kekacauan di malam festival itu menyisakan suasana
mencekam di hari-hari selanjutnya. Ketika isu nasional tentang krisis ekonomi
yang berbuntut krisis kepemimpinan semakin mengemuka, gerakan mahasiswa di
berbagai daerahpun semakin mencuat. Nino dan Nalia menjadi bagian dari aksi
demonstrasi besar-besaran itu. Rakyat berteriak, bangsa terluka. Insiden
kekerasan terjadi antara rakyat, mahasiswa dan aparat keamanan. Mahasiswa
dianggap sebagai biang kerusuhan. Pelanggaran HAM terjadi di mana-mana. Karena
sebuah alasan masa lalu, Nino dijemput paksa orang tuanya, mengamankannya dari
segala kemungkinan tuntutan. Dan dua orang yang saling jatuh cinta itupun
terpisah. Selama kurun waktu tertentu, Nalia hanya menerima surat-surat Nino
yang berisi perkembangan reformasi. Sampai segalanya berubah, masa telah
berganti. Tapi satu janji yang telah mereka sepakati, membuat mereka tidak bisa
saling melupakan.
Suatu hari, mereka memang kembali. Tapi, masih
adakah celah untuk mereka memungut kembali sepercik kenangan itu? Pada
akhirnya, cinta memang tak selalu berpihak pada perasaan. Meskipun perasaan
mereka tidak berubah, tapi keadaan zaman tidak lagi sama. Kenyataan masa kini
menuntut mereka untuk membuat keputusan yang dilematik.
Hanya saja, bukan lagi aku yang tempat pulang
baginya. Jalur hidup kami pernah bersimpangan, dahulu, tapi tidak lagi. Kini
masing-masing jalur itu tampak melaju dalam kecepatan yang lebih stabil, meski
menuju ke arah yang berbeda. Masa lalu sempat terlihat indah, namun kami tahu,
kami tidak lagi hidup di sana. (Halaman 288)
Dituturkan melalui sudut pandang seorang Nalia,
novel ini akan membawa kita ke dalam suasana reformasi kala itu. Tidak mudah
membuat setting peristiwa sejarah, dibutuhkan studi literatur yang cukup banyak
untuk mendukung argumen yang disampaikan, meski karya fiksi sekalipun. Dan
Morra, berhasil menyajikannya dengan apik dan detail. Meskipun ada beberapa
kata yang tercetak tanpa spasi, novel ini tetap asyik dinikmati.
*******
Judul Buku :
Notasi
Pengarang :
Morra Quatro
Penerbit :
Gagas Media
Tebal :
vi + 294 Halaman, 13 x 19 cm
ISBN :
979-780-635-9
Keren San resensinya, waktu baca novel ini aq merinding n ada bagian yg bikin mau nangis, baca resensi ini merinding lagi, ketahuan banget yak termasuk angkatan jaman itu :D
ReplyDeleteHehe, waktu itu aku es em pe mbak.. pas maen ke Jakarta kaget, suasananya ga enak banget.. banyak gedung tinggal puing2 abis dijarah dan dibakar..
Delete