Salah
satu impian terbesar umat muslim adalah bisa menggenapkan rukun Islam. Begitu
juga dengan saya. Jauh di lubuk hati terdalam, keinginan itu selalu
bertalu-talu. Tapi karena mahalnya biaya perjalanan ke tanah suci dan antrian
waktu yang begitu mengerikan (di daerah saya daftar antrian reguler mencapai 15
tahun lebih), maka impian itupun tidak serta merta terwujud begitu saja. Ada
proses bersabar, mengumpulkan rezeki sedikit demi sedikit sambil terus berdo’a supaya
suatu hari nanti kita bisa menjadi salah satu hamba terpilih yang berkesempatan
mencicipi nikmatnya beribadah di depan Ka’bah. Aamiin Ya Rabb..
Le
grand voyage, salah satu film tentang perjalanan ibadah haji yang dirilis tahun
2004 itu, berhasil membuat keinginan saya itu semakin menggebu. Ah, seandainya
Mekkah itu begitu dekat dan bisa dicapai dengan perjalanan darat. Seandainya
negara kita memberikan kesempatan kepada orang-orang yang hanya memiliki
kemampuan ekonomi terbatas.. (Ah, menerawang jauh)
Gambar dari sini |
Dan
merekapun belajar banyak dari perjalanan itu. Sebuah perjalanan yang luar
biasa!
“Papa,
kenapa papa tidak naik pesawat saja untuk naik haji? Lebih praktis.” Itu salah
satu pertanyaan Reda pada ayahnya, yang jawabannya kelak akan ditemukan di
dalam perjalanan.
Ayah
Reda, seorang muslim Maroko yang sudah 30 tahun bermukim di Perancis. Kerinduan
akan tanah suci selalu mengusiknya. Ia bertekad, sebelum nafasnya berhenti, ia
harus mencapainya. Maka, perjalanan sepanjang kurang lebih 5.000 KM dengan
jalan darat itupun direncanakan. Awalnya, Sang Ayah minta diantar Khalid, kakak
Reda. Tapi karena Khalid melanggar lampu merah, kabur dan SIMnya dicabut,
jadilah kewajiban itu dibebankan pada Reda yang masih SMU. Dalam waktu empat
hari, Reda terjebak dilema. Ia harus mengikuti ujian akhir SMU. Ia pernah gagal,
dan ini adalah kesempatan terakhirnya. Disamping, imannya memang tipis.
Meskipun orang tuanya muslim, tapi lahir dan tumbuh di Perancis membuat Reda
menjadi hedonis, muslim sebatas KTP. Awalnya, ia berjanji kalau perjalanan
ayahnya yang diantar sang kakak bisa berhasil, ia akan berhenti mabuk dan mulai
sholat.
Reda
tak kuasa mengelak. Dengan setengah hati, ia menyanggupi mengantar ayahnya ke
Mekkah dengan naik mobil butut mereka. Berbekal keteguhan hati sang ayah dan
selembar peta, perjalanan dari Perancis ke Mekkah melintasi Italia, Slovenia,
Kroasia, Yugoslavia, Bulgaria, Turki, Syria dan Yordania itupun dimulai.
Dan
inilah sedikit dari lika-liku perjalanan itu.
Dua
generasi tidak pernah sama pendirian dan pemikirannya. Ayah dan anak yang
sama-sama keras, membuat perjalanan itu selalu diwarnai ketegangan. Tak jarang
ketegangan itu berubah menjadi perang dingin. Seperti, ketika sang ayah
mengakui telah membuang handphone Reda di tong sampah. Padahal tong sampah itu
sudah tertinggal di belakang sejauh 300 KM. Atau, ketika Reda ingin berhenti di
Milan, Sekadar jalan-jalan dan memotret. Tapi ayahnya menolak dengan tegas,
“Kau pikir kita sedang pesiar, berhenti di setiap kota?” Tak ada kompromi.
Kehadiran
seorang wanita tua dan bisu yang tiba-tiba menumpang mobil mereka, justru malah
menunjukkan ke mana arah Beograd. Intuisi, ya sebelumnya mereka berdebat di
sebuah pertigaan padang rumput dan bingung harus lewat arah yang mana. Sampai
di Beograd, ketegangan ayah dan anak itu lagi-lagi terjadi. Hanya karena
keberadaan wanita tua yang membuat Reda merasa tak nyaman.
Ketika
terus melaju menuju Bulgaria, mereka dihadang badai salju. Berhenti di sebuah
gubuk kecil, Reda mengajukan pertanyaan yang sama ketika masih di Perancis.
Dengan bijak sang ayah menjelaskan, “Saat air laut naik ke langit, rasa asinnya
hilang dan murni kembali. Air laut menguap naik ke awan. Saat menguap, ia
menjadi tawar. Itulah sebabnya, lebih baik naik haji berjalan kaki daripada
naik kuda. Lebih baik naik kuda daripada naik mobil. Lebih baik naik mobil
daripada naik kapal laut. Lebih baik naik kapal laut daripada naik pesawat.”
Gambar dari sini |
Karena
badai salju itu, sang ayah sakit dan dirawat di rumah sakit. Tapi karena
keinginan mencapai Mekkah secepatnya, secepat itu pula ia pulih. Dan perjalanan
dilanjutkan kembali.
Ketika
masuk Turki, ada sedikit masalah di pabean. Mereka ditolong oleh seorang
laki-laki yang kemudian mempunyai keinginan untuk menumpang, sekalian ingin
ikut naik haji. Mereka berhenti sejenak di kota seribu masjid itu. Terlalu
mudah percaya dan ragu-ragu dalam mengambil keputusan. Sebenarnya sang ayah
sudah mengingatkan agar Reda tidak percaya begitu saja dengan orang yang baru
dikenal. Pada akhirnya Reda kena batunya. Orang itu tidak hanya membawa reda
pada clubbing dan mabuk-mabukan. Tapi
pagi harinya, orang asing yang bernama Mustapha itu berhasil menggasak uang
ayahnya tanpa tersisa. Ketika mereka bangun tidur, Mustapha sudah lenyap.
Melapor ke polisipun tak ada gunanya. Tidak ada bukti dan Mustapha sudah pasti tak mengakuinya.
Sang ayah marah, “Kau bisa baca dan tulis, tapi buta mengenai kehidupan.”
Dalam
keadaan sedih, merekapun melanjutkan perjalanan, tanpa uang lagi, siapa yang
akan bisa bertahan. Di pom bensin selanjutnya menuju Damaskus, tanpa
disangka-sangka sang ayah mengeluarkan uang yang ia simpan di lipatan ikat
pinggang (saya melihatnya terharu). Bisa dibilang lega, tapi tak sepenuhnya.
Uang yang seharusnya untuk biaya perjalanan pulang dari Mekkah harus
dikeluarkan sebelum waktunya.
Reda
marah karena ayahnya terlalu baik menyedekahkan uangnya di saat mereka sendiri
sedang kekurangan. Iapun pergi ke atas gurun, tak mau melanjutkan perjalanan
lagi. Ayahnya dengan bijak membujuknya, menawarkan satu opsi kalau mereka bisa
menjual mobil mereka di Damaskus untuk biaya pulang. Dan perjalananpun dilanjutkan
kembali.
Bahwa
ketika orang yang sama-sama keras hatinya, harus saling menurunkan egonya
masing-masing agar konflik tak semakin meruncing dan menggagalkan rencana baik.
Dalam hal ini, sang ayah telah berhasil dengan bijak memulainya
Dalam
perjalanan berikutnya, mereka membeli domba. Ketika sudah mendapat domba dan
diangkut ke mobil, lagi-lagi Reda terbawa emosi karena merasa terganggu dengan
berisiknya domba. Lalu mereka berhenti untuk menyembelihnya. Tapi Reda tak
terlalu kuat memeganginya, sehingga domba berhasil kabur. Melanjutkan perjalanan lagi, kali ini Reda yang
merasa bersalah.
Saat
sang ayah berhenti untuk sholat, tak sengaja Reda menemukan sejumlah uang yang
cukup banyak terselip di kaos kaki ayahnya. Redapun tertawa lega, hampir
menangis. Mungkin dalam hati mulai mengagumi ayahnya. Mereka menginap sejenak di
hotel, meluruskan punggung. Ayahnya berkelit kalau uang itu diberikan oleh
konsulat Perancis. Menurut ayahnya, itu sudah sebanding dengan jumlah yang
telah dicuri oleh Mustapha.
Di
hotel, lagi-lagi mereka berdebat dengan alibi kalau ayah dan anak itu tak
saling memahami. Reda marah dan menghabiskan waktu semalam suntuk di klub
malam. Mabuk-mabukan dan tepergok sang
ayah sedang bersama wanita. Sang ayah marah besar. Perbuatan Reda kali ini
sudah tak bisa ditolerir. Sang ayah memutuskan untuk melanjutkan perjalanan
sendiri dengan berjalan kaki. Untuk pertama kalinya Reda meminta maaf pada
ayahnya, walaupun itu juga dengan berteriak-teriak.
Mereka
melanjutkan perjalanan bersama kembali. Mungkin karena rasa bersalahnya, di tidurnya, Reda
bermimpi kalau ia tenggelam dalam padang pasir sambil berteriak-teriak memanggil
ayahnya, sementara ayahnya berlalu bersama domba-dombanya. Mungkin ini adalah pertanda,
batas antara orang beriman dengan yang tidak. Orang yang beriman akan mulus
jalannya, sedang yang tersesat akan tenggelam dalam kehancuran. Seketika ia
bangun dan mendapati ayahnya sedang sholat di tengah lautan pasir.
Dalam
perjalanan selanjutnya, mereka bertemu rombongan mobil dari Mesir, Syria,
Sudan, Libanon dan Turki yang akan menuju Mekkah. Perjalanan yang luar biasa.
Rindu akan mekkah membuat sebuah perjalanan itu menjadi sesuatu yang syahdu.
Saat berhenti lagi, mereka kehabisan air wudhu. Sang ayahpun tayamum dengan
pasir. Reda melihatnya terpana, tak mengerti. Saat itulah ia mulai belajar
memahami.
Gambar dari sini |
Semakin
dekat dengan tanah suci, rona bahagia menyelimuti. Nikmat beribadah mungkin
takkan tergantikan oleh apapun. Bahkan mungkin kalau harus menghembuskan nafas
terakhir di sana. Mungkin bagi sebagian orang beriman, itu adalah anugerah.
Gambar dari sini |
Hari
kedua di Mekkah, saat rembulan sempurna lenyap sampai matahari mulai muncul lagi,
Reda tak mendapati sosok sang ayah kembali ke parkiran mobil mereka. Iapun
mencari dan mencari di antara jutaan umat manusia. Berhasilkah Reda menemukan
ayahnya? Apakah perjalanan yang telah ia lalui bersama sang ayah menyisakan
sesuatu bagi dirinya? Tonton sendiri ya, tidak seru kalau semua diceritakan..
Yap,
perjalanan yang menakjubkan dan mengharukan. Lika-liku di dalamnya cukup
memberikan pembelajaran. Saya suka endingnya yang terbuka, tidak serta-merta
menunjukkan Reda berubah menjadi baik dengan menjadi rajin sholat misalnya.
Hanya proses menuju berubah. Selanjutnya, penonton sendirilah yang
menyimpulkan.
Saya
suka dengan akting Nicolas Cazalé (Reda) dan Mohamed Majd (sang ayah) yang
terlihat begitu natural. Karena peran Reda, Nicolas mendapat award sebagai best actor dalam Newport
International Film Festival. Tidak banyak film produk internasional yang
mengangkat tema Islam. Dan saya berharap, ke depan akan semakin banyak
film-film (religi) yang berkualitas seperti ini. Setidaknya cukup untuk menjadi
‘kompor’ menuju kebaikan.
23032013_12:30
memang bagus banget film ini mba, nangis saya nontonnya
ReplyDeleteAku terpana, ga nyangka endingnya akan seperti itu..
DeleteWah.. pengen nonton.. bagus resensinya, san.. padahal kalo sy ga keberatan dikasi tau endingnya ;p
ReplyDeleteNonton aja mbak.. mmm, kasih tau ga yaa..:D
DeleteEndingnya, sang ayah menghembuskan nafas terakhir saat tawaf mbak.. heuheuheu
pengen nonton pilemnyaaaa...
ReplyDeleteAyo mbak Binta, kalo blm dapet DVDnya.. ada kok di youtube.. ini nih linknya :)
Deletehttp://www.youtube.com/watch?v=GHwyHyIuFhk
Wah, belum kenal dengan Nicolas Cazalé boss...
ReplyDeletebtw, salam kenal ya... :D
wuehehe.. saya juga tidak mengenal Nicolas secara pribadi :D
DeleteSalam kenal balik :)
Aku sukaaaa banget film ini...:) pernah dibahas di tv, trus beberapa bula kemudian ditayangin.
ReplyDeleteDan..reviewmu ini juga maniis :)
Mbak Brina, ini masuk folder film favoritku :)
DeleteAku malah belum liat yang di tivi..
kunjungan perdana..
ReplyDeleteblog dan tutornya sangat menarik..
oy blognya sudah saya follow, ditunggu juga ya folbacknya :)
Makasih.. okey :)
Deletejd pengen nonton, kayaknya filmnya bagus :)
ReplyDeleteSilahkan mbak Myra.. emang bagus :)
Deleteterhanyut aku, menetes air mata, ketika membaca lagi kisah ini di sini. Sama ketika melihat filmnya ketika tayang di metro tv, entah tahun berapa. Dan aku pun jadi teringat, rasa haruku ketika bisa menjalaninya sendiri, th 1434 H lalu, meski cuma naik lesawat
ReplyDeleteSubhanallah... Moga berkah :)
Delete