Dua tahun berkelana, tanpa telepon, tanpa
kolam renang, tanpa hewan, tanpa rokok, kebebasan mutlak. Ekstremis, pengembara
alam yang rumahnya ada di jalan. Kini, setelah dua tahun mengembara, tibalah
petualangan akhir dan terhebat. Pertarungan puncak untuk membunuh kepalsuan
yang ada dalam diri dan berjaya menyelesaikan revolusi spriritual. Tak lagi harus diracuni peradaban, dia pergi dan
berjalan sendirian ke wilayah untuk menjadi tersesat di alam buas.
-Alexander Supertramp Mei, 1992-
Senekat-nekatnya
seorang backpacker atau penjelajah alam, dia tidak akan menggunting lalu
membuang semua kartu identitasnya dan membakar semua uangnya. Itu kedengaran
sangat gila! Tapi itulah yang dilakukan oleh seorang Christopher McCandless,
beberapa hari setelah kelulusannya dari Universitas Emory, Atlanta. Dia menolak
semua fasilitas dari orang tuanya : uang, mobil, jaminan melanjutkan ke Harvard
University dan semua kemewahan yang siap memanjakannya. Bahkan, dia
menyumbangkan sisa tabungannya ke sebuah yayasan sosial. Dia hanya ingin bebas,
setelah empat tahun merasa terkungkung oleh tuntutan pendidikan. Terlebih, dia
ingin melepaskan semua tekanan dari orang tuanya yang dinilainya hidup dalam
kepalsuan. Ayahnya, seorang genius
kebanggaan NASA dan ibunya yang seorang wanita karier, sukses membuat hidup Chris
dan adik perempuannya menjadi sepi dan terabaikan.
Chris mengukur
diri dan semua hal di sekitarnya dengan nilai moral. Dia ingin merasakan
seperti apa hidup yang sunyi, tapi menemukan teman seperti tokoh-tokoh buku
yang dia sukai, dari penulis seperti Tolstoy, Jack London dan Thoreau. Dia bisa
mengutip tulisan mereka sesuai situasi apapun dan dia sering melakukannya. Dan
itulah yang terjadi. Dalam perjalanannya, dia banyak bertemu dengan orang-orang
yang dengan mudah menjadi akrab dengannya, memahami dan memberikannya sekerat
makna atas kata ‘keluarga'.
Film yang dirilis
tahun 2007 ini terbagi menjadi lima chapter yang menggambarkan siklus hidup
manusia itu sendiri. Dan siklus-siklus itu bisa tergambarkan hanya dari sebuah
perjalanan. Perjalanan yang tidak biasa. Di dalamnya ada pengalaman tanpa
batas, pencarian jati diri dan pemahaman spiritual. Karena perjalanan bukan
sekedar pelarian diri dari sejarah, tekanan, hukum dan kewajiban yang
mengesalkan. Inti jiwa manusia itu datang dari pengalaman baru.
Chapter pertama,
My Own Birth (Kelahiranku sendiri), menggambarkan sebuah kebaruan. Ketika mulai
melangkah, menghirup udara perjalanan, segala hal yang tertinggal di belakang seakan
tak berarti. Ingin menjadi pribadi baru tanpa embel-embel masa lalu, Chrispun mengubah namanya menjadi Alexander
Supertramp. Nama yang aneh memang. Petualangannya dimulai dari Danau Mead,
Arizona pada Juli 1990. Dia pergi, tanpa memberi tahu siapapun! Ia berjalan dan
terus berjalan. Agustus 1990, dia
bertemu pasangan hippies, pengelana karet, Jan dan Raynie di Pacific Crest
Trail, California Utara. Nasib Jan, seorang ibu yang sudah dua tahun terpisah
dari anaknya tanpa berita, seakan memantul ke diri Alex.
Chapter kedua,
Adolescence (keremajaan), menggambarkan perjalanan yang dinamis. Kita tidak
akan pernah tahu bagaimana keyakinan akan berkembang. Akan bangkit
menghancurkan hal buruk dalam kenangan yang kelam atau akan bangkit, memetik
pelajaran dari kesalahan. Begitulah perjalanan waktu, terlalu cepat untuk
ditahan. Di Dakota Selatan (September 1990), dia bertemu dengan Wayne, yang
mempekerjakannya di ladang gandum. Kepada Wayne, dia membagi mimpi, ingin ke Alaska sendirian tanpa jam, peta, kapak
atau apapun! Konyol sekali! Dia hanya ingin di luar, alam, gunung besar,
sungai, langit dan perburuan. Meskipun orangnya sedikit brengsek, kelak
nasehat-nasehat Wayne tentang Alaska memang ada benarnya. Bisa dikatakan sebuah
firasat, entah baik atau buruk! Sayang, Alex memang sudah kadung nekat!
Petualangannya
berlanjut ke sungai Colorado melintasi Grand Canyon yang terkenal itu. Dia
mendayung dengan menggunakan kano kecil, meskipun tak mendapat izin pemerintah,
dia tetap nekat. Dia berniat mendayung sampai Meksiko. Sebenarnya Alex sangat
takut air, tapi dia harus melakukan dan menaklukkan rasa takut itu. Kelak, rasa
takut Alex inilah yang akan menentukan nasib, akhir perjalanannya.
Chapter ketiga,
Manhood (Kedewasaan). Setahun lebih tanpa kabar, kemarahan orang tua Alex
berubah menjadi keputusasaan dan kesedihan. Hati mereka menjadi lembut karena
kehilangan yang terpaksa. Naluri seorang ibu berbicara akan sebuah kehilangan
yang besar. Di chapter ini, ada adegan di mana seorang Alex berhasil menembak
seekor rusa hutan yang besar di Alaska, tapi terlambat mengulitinya, belatung
hinggap di mana-mana. Ada semacam ketakutan yang berkecamuk dalam hatinya. Dia
menangis, menyesal dan tidak menikmati seujung kukupun hasil buruannya. Dia
hanya diam terpaku menyaksikan hewan buruannya dinikmati hewan-hewan lainnya. Dia
menyebutnya sebagai tragedi besar dalam hidupnya. Kalau boleh saya simpulkan,
bahwa dalam diri setiap manusia itu ada nafsu yang jika tidak dikendalikan,
akan berbahaya bagi dirinya maupun orang-orang dan alam sekitarnya.
Chapter keempat,
Family (Keluarga). Pertemuan kembali antara Alex dengan Jan dan Raynie pada
Desember 1991, menyadarkan arti keluarga yang hilang baginya. Tapi dia tetap
ingin ke Alaska. Berbagai persiapan fisik dilakukan seperti mendaki Salvation
Mountain. Dalam sebuah adegan yang lain, ketika dia sudah hampir pulang dari
Alaska, dia mulai berpikir tentang keluarga, tetangga dan berkemas pulang.
Setidaknya, dia sudah merasakan kebebasan yang menjadi kebahagiaannya. Dia
pernah terluka, tapi hidup bebas di alam liar telah menyembuhkannya. Tapi
ternyata, air sungai meluap sedemikian besarnya, tidak seperti saat dia datang
ke Alaska yang mudah diseberangi karena sebagian tertutup salju beku. Dia gagal
menyeberang. Topi rajut yang pernah diberikan oleh Jan dan dia sampirkan di
sebuah ranting pohon (mungkin digunakan sebagai petunjuk jalan ketika pulang)
seakan hanya melambai muram dari seberang sungai. Cuaca menjadi buruk dan
terjadi banjir besar. Diapun kembali ke bus ajaib, tempat tinggalnya selama di
Alaska. Dia ketakutan dalam hujan dan kesepian. Dia menyebutnya sebagai
malapetaka. Mampukah dia bertahan? Sampai batas apa?
Chapter akhir,
Getting Of Wisdom (Mendapat Kebijaksanaan). Di Salton City, Alex bertemu dengan
kakek Ron Franz yang kelak mengantarkannya sampai stasiun kereta ke Alaska pada
22 maret 1992 dan ingin mengadopsinya sebagai cucu. Tapi Alex bergeming dan
berkata akan membahas itu sepulang dari Alaska. Oh, seandainya saja masih ada
kesempatan itu, mungkin itu yang dipikirkan Alex ketika sedang ketakutan dan
merasa terlambat menyadarinya suatu saat di Alaska. Saat di mana dia telah
benar-benar terperangkap di alam buas.
Kakek Ron adalah pensiunan militer yang
menghabiskan sisa hidupnya dengan menjadi pengrajin kulit. Dia mengajarkan Alex
menyamak kulit. Salah satunya ikat pinggang yang kemudian dia pahatkan gambar
tempat-tempat yang sudah dia jelajah selama berkelana dua tahun itu. Kelak,
ikat pinggang itu menjadi saksi bisu bahwa Alex pernah sangat berhemat untuk
makanannya ketika di Alaska, terbukti dengan selalu bertambahnya lubang ikat
pinggang karena semakin kecilnya ukuran perut. Selain itu, kakek Ron juga
banyak memberikan pelajaran yang berharga akan hidup. Seperti, kebahagiaan
hidup pada prinsipnya datang dari hubungan manusia. Tuhan menempatkannya di
sekitar kita. Ada di segalanya. Dalam apapun yang bisa kita alami. orang hanya
harus mengubah cara mereka melihat hal-hal itu. Bila kamu memaafkan, kamu
menyayangi. Bila kamu menyayangi, cahaya Tuhan bersinar pada dirimu.
Sementara pada
adegan lain di Alaska, Alex sudah hampir gila karena kelaparan. Untuk sesaat
dia menemukan kembali tujuan hidupnya. Mampukah dia melewati hari yang dia
sebut sebagai kondisi paling lemah? Satu per satu orang yang berharga dalam
hidupnya melintas di benaknya. Bisakah dia berkumpul kembali dengan
keluarganya?
Bravo, rasanya
tidak berlebihan kalau saya menempatkan film ini sebagai salah satu film
favorit sepanjang masa. Sebagai film yang bertema tentang perjalanan dan
petualangan, akan banyak kita dapati pemandangan-pemandangan menarik selama
film ini dari awal sampai akhir dengan kualitas gambar yang memuaskan. Kita
serasa ikut berjalan-jalan ke gunung, hutan, sungai, padang rumput, menikmati
dinginnya salju, melihat salju mencair atau merasakan adrenalin meningkat
ketika melihat Alex berarung jeram tanpa helm! Pantaslah kalau film ini meraih
penghargaan sebagai best picture
dalam beberapa festival.
Alur yang
melompat-lompat sukses membuat saya penasaran, seru! Di awal film, ketika Alex
tiba di Alaska pada musim dingin dan menemukan bus yang teronggok begitu saja
di pedalaman Alaska membuat saya terus berpikir apa kira-kira yang akan
dilakukan Alex sesudahnya. Tiba-tiba kita dilemparkan pada masa dua tahun sebelumnya,
Ketika petualangan itu baru akan dimulai dan perjalanan-perjalanan sebelum tiba
di Alaska yang semuanya menghadirkan benang merah yang saling bertautan.
Emille Hirsch yang
memerankan tokoh Alex, berakting sangat cemerlang! Dia benar-benar all out dalam menghayati perannya. Tidak
heran, di beberapa festival, dia menyabet penghargaan sebagai best actor. Akting kakek Ron yang
diperankan oleh Hal Holbrook juga
mendapat ganjaran sebagai best supporting
actor. Inilah bedanya dengan film Indonesia yang jarang menggunakan aktor
yang benar-benar tua untuk peran yang memang berusia tua. Kerut di wajah hanya
tipuan kosmetik belaka. Sementara di film ini, Hal mampu memerankan kakek Ron
yang sesuai dengan usianya dengan pas. Dalam beberapa adegan, dia mendaki
puncak berbatu. Saya kagum karena aktornya memang kakek beneran, bukan kakek tipuan. Hebatnya lagi, soundtrack film ini, yang dinyanyikan oleh Eddie Vedder (vokalist Pearl Jam) juga menjadi best soundtrack.
Tak hanya itu,
Sean Penn, juga meraih penghargaan sebagai best
director. Bahkan bisa dibilang, jasa mantan suami Madonna itu untuk film
ini patut diacungi jempol. Karena selain menyutradarai, dia juga menjadi salah
satu produser dan script writer. Tidak heran kalau Sean Penn berbakat menghasilkan film bagus, karena sebelum menjadi
sutradara, dia sudah lama malang melintang sebagai aktor film. Kemunculannya
pertama kali di layar kaca lewat beberapa episode serial Little House on the Prairie yang waktu itu disutradarai oleh
ayahnya selama beberapa episode pula. Ternyata, buah jatuh tak jauh dari
pohonnya.
Salut dengan kejeniusan
Sean Penn menghadirkan dialog-dialog cerdas sepanjang film ini. Rasanya tidak
ada dialog atau adegan yang tidak berguna sama sekali. Semuanya terasa penting.
Quote-quote berharga juga berhamburan, disampaikan secara bergantian antara
sudut pandang Alex dan Carine, adik perempuannya. Film yang diangkat
berdasarkan buku yang ditulis oleh Jon Krakauer ini ternyata terinspirasi oleh
kisah nyata. Jon Krakauer yang dikenal dekat dengan keluarga McCandless itu, menulis
buku berdasarkan catatan perjalanan seorang Christoper Johnson McCandless. Di
setiap tempat yang disinggahi, Chris selalu menulis. Dia juga suka membaca, di
manapun.
Dan, bus ajaib di
Alaska itulah yang menjadi saksi nafas terakhirnya. Dua minggu setelah
kematiannya, pemburu rusa menemukan jasadnya. 19 september 1992, adiknya, Carine terbang dengan abu jenazah
kakaknya dari Alaska ke pantai timur dengan ranselnya. Chris yang saat itu berusia
24 tahun (12 Feb 1968 -18 agustus 1992) meregang nyawa akibat keracunan tanaman
liar yang dia makan. Keracunan yang pada awalnya meyebabkan rasa kelaparan yang
sangat, inhibisi pencernaan dan lumpuh itu berakibat fatal jika tidak segera
ditangani. Foto Chris dengan pose tersenyum duduk di depan bus ajaib ditemukan
dalam tustelnya yang belum tercetak, sangat mirip dengan salah satu scene di filmnya. Bukti, kalau detail
film ini sangat diperhatikan. Selain itu, juga ditemukan tulisan yang menjadi
pembuka review ini (silahkan lihat ke atas kembali) di sebuah kayu yang dia
pahat dengan pisau lipat di dalam bus ajaib. Sementara di sebuah kertas, dia
juga menulis, “Hidupku telah bahagia dan terima kasih Tuhan. Selamat tinggal
dan semoga Tuhan memberkati kalian.”-Christopher Johnson McCandless- (nama asli
yang tidak pernah dia sebutkan dalam perjalanannya, akhirnya dia tuliskan juga).
Pun dalam selipan bukunya, dia menulis, “Kebahagiaan hanya nyata bila dibagi.”
Dan itu menjadi tulisan terakhirnya.
Sebelah atas: foto asli, Sebelah bawah: adegan dalam film |
I said, it’s
wonderful experiences, it’s wonderful life, it’s wonderful film. It’s
recommended!
Good review ... pengen nonton :)
ReplyDeleteAyo, tontonlah :)
Deletekadang ketika manusia sudah sampai pada titik jenuh menikmati kemudahan kemoderan,mereka akan merindukan sosok purba yang serba dekat dengan alam..
ReplyDeleteYap, seperti kata Lord Byron berikut ini ya.. :)
DeleteAda kesenangan dalam hutan tanpa jalan setapak
Ada keceriaan di pantai yang sepi
Ada masyarakat yang tidak saling mengganggu
Di dekat laut yang dalam,
Dan musik dalam raungannya
Aku mencintai manusia
Tapi lebih suka alam
penasaran pingin nonton, kadang keindahan alam membuat kita jadi tenang dan nyaman sesaat untuk melupakan rutinitas
ReplyDeleteSilahkan ditonton Lisa.. ada banyak keindahan alam yang membuat takjub di film ini :)
DeleteKadang keindahan yang terlihat didalamnya menjadi sebuah yang indah dilihat mata terlebih membuat hati ingin kesana hehe :)
ReplyDeleteHehe, sama :
DeleteMakasih uda baca..
Eh, ada lho "orang gila" kek gini, saya baru2 baca lupa di mana ... ada sepasang suami istri yang hidup nyaris tanpa uang. Kalo dia dan istrinya gak pake uang, anak mereka yang masih bayi yang pake uang. Jadi, utk anak mereka pake semacam jaminan sosial gitu ... tapi di luar negeri, bukan di Indonesia :D
ReplyDeleteHehe, orang luar negeri emang suka aneh2 ya mbak Niar..coba kalo orang Indonesia yang bikin 'sensasi' kyk gitu, bisa jadi omongan orang :D
DeleteKeknya gak ada orang Indonesia betah hidup gak pakai uang deh hehehe
Deletedapet film ini udah lama tapi baru nnton td malem, dari temen yg hidupnya emang dialam jg..
ReplyDelete2.30 jam yang sangat padat, masih segar diingat ..
abis nonton sih nyesel, kenapa itu ending nya harus begitu, sakit hati rasanya..
tp pas mau tidur, teringat terus dan akhirnya gak jadi tidur, akhirnya jadi mendalami film itu..
emang recommend bgt lah
Iya, aku juga gitu.. kepikiran kok endingnya harus gitu ya. Tapi justru itulah letak kesuksesan film ini. Mampu membuat penontonnya ngerasa 'ga rela' dengan endingnya :)
Deletefilm favorit dg endingnya "happines only real when shared" :)
ReplyDeleteYap.. Makasih ya uda baca :)
DeleteSekitar 2tahun yg lalu aku pernah nonton filmnya meskipun di televisi .. aku pun sampai menangis di endingnya
ReplyDeleteSekitar 2tahun yg lalu aku pernah nonton filmnya meskipun di televisi .. aku pun sampai menangis di endingnya
ReplyDeletesalam kenal mbak, saya menjadi ini film dan kisah sebagai panutan hidup karena kepalsuan hidup ... salam kebebasan
ReplyDelete